24/10/10

Kisah Nabi Idris dan Malaikat Izrail

Di dalam kisah Nabi Idris
a.s, beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan sholat sampai puluhan raka’at dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam kesibukannya sehari-hari.
Catatan amal Nabi Idris a.s yang
sedemikian banyak, setiap malam
naik ke langit. Hal itulah yang
sangat menarik perhatian
Malaikat Maut, Izrail.
Maka bermohonlah ia kepada
Alloh Swt agar di perkenankan
mengunjungi Nabi Idris a.s. di
dunia. Alloh Swt, mengabulka

Label:

zikir dan doa

Berikut adalah Dzikir dan
doa setelah sholat fardlu.
Semoga bermanfaat
Astaghfirullaahal ‘adziim,
alladzii laa ilaaha illaa
huwal hayyul qayyumu wa
atuubu ilaih 3x
“ saya mohon ampun
kepada allah yang maha
besar tidak ada tuhan
melainkan dia yang
senantiasa hidup lagi
mengurus segala sesuatu
dengan sendiri-nya dan saya
bertobat kepada-nya.” 3x
Laa ilaaha ilaallaahu
wahdahuu laa sayariika
lahuu, lahul mulku wa
lahul hamdu yuhyii wa
yumiitu wa huwa ‘alaa
kulli syain qadiir 3x
“ tidak ada tuhan yang wajib
disembah, kecuali allah
yangmaha esa. Tidak ada
sekutu bagi-nya. Dialah yang
mempunyai kekuasaan dan
kerajaan dan bagi-nya segala
pujian, yang menghidupkan
dan yang mematikan dan dia
berkuasa atas segala
sesuatu. “ 3x
Allahumma antas salaam,
wa minkas salaam, wa
ilaika ya ’uudus salaam, fa
hayyinaa rabbanaa bis
salaam, wa adkhilnal
jannata daaras salaam,
tabaarakta rabbanaa wa
ta ’alaita yaa dzal jalaali
wal ikraam.
“ ya allah, engkau adalah
dzat yang memiliki
kesejahteraan dan daripada-
mulah kesejahteraan itu, dan
kepada-mulah akan kembali
lagi segala kesejahteraan itu.
Ya tuhan kami, hidupkanlah
kami dengan sejahtera dan
masukkanlah kami ke dalam
syurga kampung
kesejahteraan. Engkaulah
yang kuasa memberi berkah
yang banyak dan engkaulah
yang maha tinggi, wahai dzat
yang memiliki keagungan
dan kemuliaan. ”
A’uudzu billaahi minasy
syaithaanir rajiim.
Bismillaahir rahmaanir
rahiim. Al hamdu lillaahi
rabbil ‘alaamin. Ar
rahmaanir rahim. Maaliki
yaumiddin. Iyyaaka
na ’budu wa iyyaaka
nasta’iin. Ihdinash
shiraathal mustaqiim.
Shiraathal ladziina
an ’amta alaihim, ghairil
maghdhuubi ‘alaihim
waladh dhaa-lliin (aamin).
“ aku mohon perlindungan
kepada allah dari godaan
syaitan yang terkutuk ”.
“ dengan menyebut nama
allah yang maha pemurah
lagi maha penyayang. Segala
puji bagi allah, tuhan
semesta alam. Maha
pemurah lagi maha
penyayang. Yang menguasai
di hari pembalasan. Hanya
engkaulah yang kami
sembah dan hanya kepada
engkaulah kami meminta
pertolongan tunjukilah kami
jalan yanglurus. (yaitu) jalan
orang orang yang telah
engkau beri nikmat kepada
mereka, bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka
yang sesat. ”
Wa ilaahukum ilaahuw
waahid, laa ilaaha illaa
huwar rahmaanur rahiim.
“dan tuhanmu adalah tuha
yang maha esa, tidak ada
tuhan melainkan dia yang
maha pemurah lagi maha
penyayang. ”
Ilaahi yaa rabii
“ wahai tuhanku,
(tuhan)yang menguasaiku”
Subhanallah 33 x
“maha suci allah”
Al hamdu lillaah 33 x
“segala puji bagi allah.”
Allaahu akbar 33 x
“ allah maha besar 33 x”
Allaahu akbaru kabiiraw
wal hamdulillaahi
katsiiraw
wasubhaanallaahi
bukrataw wa ashiila, laa
ilaaha illallahu wahdahuu
laa syariika lahu, lahul
mulku wa lahul hamdu
yuhyii wa yumiitu wa huwa
‘ alaa kulli syain qadiir.
”allah maha besar lagi
sempurna kebesaran-nya.
Segala puji bagi allah dengan
pujian yang banyak maha
suci allah sepanjang pagi dan
petang tidak ada tuhan
melainkan allah dan tidak
ada sekutu bagi-nya segala
pujian dzat yang
menghidupkan dan yang
mematikan. Dia berkuasa
atas segala sesuatu. ”
Wa laa haula wa laa
quwwata illaa billaahil
‘ aliyyil ‘adziim.
“dan tidak ada daya dan
kekuatan melainkan karena
pertolongan allah yang
maha tinggi lagi maha
mulia. ”
A’uudzu billaahi minasy
syaithaanir rajiim.
Bismillaahir rahmaanir
rahiim. Al hamdu lillaahi
rabbil ‘aalamin. Ar
rahmaanir rahiim. Maaliki
yaumiddin. Iyyaaka
na ’budu wa iyyaaka
nasta’iin. Ihdinash
shiraathal mustaqiim.
Shiraathal ladziina
an ’amta ‘alaihim, ghairil
maghdhuubi ‘alaihim
waladh dhaa-lliin.
(aamiin).
“ aku mohon perlindungan
kepada allah dari godaan
syaitan yang terkutuk. ”
“ dengan menyebut nama
allah yang maha pemurah
lagi maha penyayang. Segala
puji bagi allah, tuhan
semesta alam. Maha
pemurah lagi maha
penyayang. Yang menguasai
di hari pembalasan. Hanya
engkaulah yang kami
sembah, dan hanya kepada
engkaulah kami meminta
pertolongan. Tunjukilah kami
jalan yang lurus. (yaitu) jalan
orang orang yang telah
engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka
yang sesat. ”
Wa ilaahukkum ilaahuw
waahid, laa ilaaha illa
huwar rahmaanur rahiim.
“dan tuhanmu adalah tuhan
yang maha esa; tidak ada
tuhan melainkan dia yang
maha pemurah lagi maha
penyayang. ”
Astaghfirullaahal ‘adziim.
“saya mohon ampun kepada
allah yang maha agung.”
Afdhaludzdzikri fa ‘lam
annahu laa ilaaha illallah.
“ketahuilah, bahwa
sesungguhnya sebaik baik
(kalimat) dzikr adalah laa
ilaaha illallah (tiada tuhan
selain allah).
laa ilaaha illallaah 33 x
“tidak ada tuhan selain
allah” 33x
Laa ilaaha illallaah
muhammadur rasulullah,
shallalaahu ‘alaihi wa
sallam.
“tidak ada tuhan selain allah
dan muhammad adalah
utusan allah, semoga
shalawat dan salam sejahtera
senantiasa untuknya. ”
Allahumma shalli ‘alaa
sayyidinaa muhammadin
‘ abdika wa rasuulikan
nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa
aalihi wa shahbihii wa
sallim, wa radhiyallahu
ta ’aalaa ;an saadaatnaa
ash-haabi rasulillaahi
ajma ’iin.
“ya allah, limpahkan
kesejahteraan dan
keselamatan kepada
junjungan kami, muhammad,
hambamu, utusanmu
sebagai nabi yang ummi, dan
juga atas keluarga dan para
sahabatnya. Semoga allah
ta ’ala senantiasa meridhai
semua para sahabat
rasulullah. ”
Bismillaahir rahmaanir
rahiim. Al hamdulillahi
rabil ‘alaamin. Hamday
yuwaafi ni’amahuu
wayukaafi maziidah. Yaa
rabbanaa lakal hamdu
kamaa yambaghii ijalaali
wajhika wa ‘adziimi
sulthaanik. Allaahumma
shalli ‘alaa sayyidinaa
muhammadin wa ‘alaa aali
sayyidinaa muhammad.
“dengan nama allah yang
maha pengasih dan maha
penyayang. Segala puji bagi
allah, tuhan seru sekalian
alam, sebagaimana orang
orang yang syukur, dan
orang yang memperoleh
nikmat sama memuji, dengan
pujianyang sesuai dengan
nikmatnya dan
memungkinkan ditambah
nikmatnya. Tuhan kami,
hanya bagi engkau segala
puji sebagaimana yang patut
terhadap kemuliaan engkau
dan keagungan kekuasaan
engkau. Ya allah
tambahkanlah kesejahteraan
dan keselamatan kepada
penghulu kami, nabi
muhammad saw dan kepada
keluarganya.
Allahahumma rabbana
taqabbal minna
shalaatanaa wa
shiyaamanaa wa
ruku ’anaa wa sujuudanaa
wa qu’uudanaa wa
tadharru’anaa wa
takhasyu’anaa wa
ta’abbudanaa wa tammim
taqshiiranaa ya allaahu ya
rabbal alaamiin.
“ya allah, terimalah
shalatkami, puasa kami,
ruku ’ kami, sujud kami,
duduk kami, khusyu’ kami,
pengabdian kami dan
sempurnakanlah apa yang
kami lakukan selama shalat
ya allah tuhan seru sekalian
alam. ”
Rabbanaa dzallamnaa
anfusanaa wa illam
taghfirlanaa wa
tarhamnaa lanakuunanna
minal khaasiriin.
Rabbanaa wa laa tahmil
‘alainaa ishran kamaa
hamaltahuu ‘alalladziina
min qabiinaa, rabbanaa wa
laa tuhammilnaa maa laa
thaaqata lanaa bih. Wa ’fu
annaa waghfir lanaa
warhamnaa anta
maulanaa fanshurnaa ‘alal
qaumil kaafiriin.
“ya tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri,
dan jika engkau tidak
mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada
kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang orang yang
merugi. Ya tuhan kami,
janganlah engkau hukum
kami jika kami lupa atau
kami tersalah. Ya tuhan
kami, janganlah engkau
bebankan kepada kami
beban yang berat
sebagaimana engkau
bebankan kepada orang
orang sebelum kami. Ya
tuhan kami, janganlah
engkau pikulkan kepada
kami apa yang tak sanggup
kami memikulnya, beri
maaflah kami; ampunilah
kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah penolong kami,
maka tolonglah kaum yang
kafir.
Rabbanaa laa tuzigh
quluubanaa ba ’da idz
hadaitanaa wa hab lanaa
mil ladunka rahmah,
innakaa antal wahhaab.
“ya tuhan kami, janganlah
engkau jadikan hati kami
condong kepada keseatan
sesudah engkau beri
petunjuk kepada kami, dan
karunialah kepada kami
rahmat dari sisi engkau;
karena sesungguhnya
engkaulah maha pemberi
(karunia).
Rabbanaghfirlanaa wa
liwaalidiinaa wa lijami ’il
muslimiina wal muslimaat,
wal mu ’miniina wal
mu’minaat, al ahyaa-i
minhum wal amwaat,
innaka ‘alaa kulli
syaiinqadiir.
“ ya allah tuhan kami
ampunilah kami dan dosa
dosa orang tua kami, dan
bagi semua orang islam laki
laki dan permpuan, orang
orang mukmin laki laki dan
perempuan yang masih
hidup maupun yang sudah
mati. Sesungguhnya
engkaulah dzat yang maha
kuasa atas segala sesuatu. ”
Rabbanaa aatinaa fiddun-
ya hasanah, wa fil-
aakhiraati hasanah,
waqinaa ‘adzaaban naar.
Allahummaghfir lanaa
dzunuubanaa wa kaffir
‘ annaa sayyiaatinaa wa
tawaffanaa ma’al abraar.
“ ya allah tuhan kami,
berilah kami kebahagiaan di
dunia dan kesejahteraan di
akhirat, dan hindarkanlah
kamidari siksaan api neraka.
Ya allah, ampunilah dosa
kami dan tutupilah segala
kesalahan kami, dan semoga
jika kmai mati nanti bersama
sama dengan orang yang
baik baik.
Subhaana rabbika rabbil
‘ izzati ‘amma yashifuun.
Wa salamun ‘alal
mursaliin, wal hamdulillahi
rabbil ‘aalamiin.
“maha suci engkau, tuhan
segala kemuliaan, suci dari
apa (orang musyrik) sifatkan.
Semoga kesejahteraan atas
para rasul dan segala puji
bagi allah tuhan seru
sekalian alam. ”

19/10/10

Al-Qomah DIbakar Rasulullah





Dengan tergopoh-gopoh, isteri Al-Qamah menghadap Rasulullah SAW mengabarkan suaminya sakit keras. Beberapa hari mengalami naza� tapi tak juga sembuh. "Aku sangat kasihan kepadanya ya Rasulullah," ratap perempuan itu. Mendengar pengaduan wanita itu Nabi SAW merasa iba di hati. Beliau lalu mengutus sahabat Bilal, Shuhaib dan Ammar untuk menjenguk keadaan Al-Qamah. Keadaan Al-Qamah memang sudah dalam keadaan koma. Sahabat Bilal lalu menuntunnya membacakan tahlil di telinganya, anehnya seakan-akan mulut Al-Qamah rapat terkunci. Berulang kali dicoba, mulut itu tidak mau membuka sedikitpun. Tiga sahabat itu lalu bergegas pulang melaporkan kepada Rasulullah SAW tentang keadaan Al-Qamah. "Sudah kau coba menalqin di telinganya?" tanya Nabi."Sudah Rasulullah, tetapi mulut itu tetap terbungkam rapat," jawabnya." Biarlah aku sendiri datang ke sana", kata Nabi.
 
Begitu melihat keadaan Al-Qamah tergolek diranjangnya, Nabi bertanya kepada isteri Al-Qamah :"Masihkah kedua orang tuanya?" tanya Nabi.
"Masih ya Rasulullah," tetapi tinggal ibunya yang sudah tua renta," jawab isterinya."
Di mana dia sekarang?"
"Di rumahnya, tetapi rumahnya jauh dari sini."
 
Tanpa banyak bicara , Rasulullah SAW lalu mengajak sahabatnya menemui ibu Al-Qamah mengabarkan anaknya yang sakit parah. "Biarlah dia rasakan sendiri", ujar ibu Al-Qamah. "Tetapi dia sedang dalan keadaan sekarat, apakah ibu tidak merasa kasihan kepada anakmu ?" tanya Nabi.
 
"Dia berbuat dosa kepadaku," jawabnya singkat.
"Ya, tetapi maafkanlah dia. Sudah sewajarnya ibu memaafkan dosa anaknya," bujuk Nabi.
"Bagaimana aku harus memaafkan dia ya Rasulullah jika Al-Qamah selalu menyakiti hatiku sejak dia memiliki isteri," kata ibu itu.
"Jika kau tidak mau memaafkannya, Al-Qamah tidak akan bisa mengucap kalimat syahadat, dan dia akan mati kafir," kata Rasulullah.
"Biarlah dia ke neraka dengan dosanya," jawab ibu itu. Merasa bujukannya tidak berhasil meluluhkan hati ibu itu, Rasulullah lalu mencari kiat lain. Kepada sahabat Bilal Nabi berkata : "Hai bilal, kumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya," perintah Nabi.
 
"Untuk apa kayu bakar itu Rasulullah," tanya Bilal keheranan."Akan kugunakan untuk membakar Al-Qamah, dari pada dia hidup tersiksa seperti itu, jika dibakar dia akan lebih cepat mati, dan itu lebih baik karena tak lama menanggung sakit", jawab Rasulullah.
Mendengar perkataan Nabi itu, ibu Al-Qamah jadi tersentak. Hatinya luluh membayangkan jadinya jika anak lelaki di bakar hidup-hidup. Ia menghadap Rasulullah sambil meratap, "Wahai Rasulullah, jangan kau bakar anakku," ratapnya. Legalah kini hati Rasulullah karena bisa meluluhkan hati seorang ibu yang menaruh dendam kepada anak lelakinya. Beliau lalu mendatangi Al-Qamah dan menuntunya membaca talkin. Berbeda dengan sebelumnya, mulut Al-Qamah lantas bergerak membacakan kalimat dzikir membaca syahadat seperti yang dituntunkan Nabi. Jiwanya tenang karena dosanya telah diampuni ibu kandungnya. Al-Qamah kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan fasih mengucapkan kalimat syahadat. Ia meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Memang, surga adalah di bawah telapak kaki ibunda.
 
http://rud1.cybermq.com/post/kategori/797/kisah-islami
 

Label:

Mengawasi pintu Supaya Tidak Ada Pencuri




Suatu hari Nasrudin kecil ditinggal ibunya untuk pergi ke rumah Ibu RT. Sebelum pergi ibunya berkata kepada Nasrudin, “Nasrudin, kalau kamu sedang sendirian di rumah, kamu harus selalu mengawasi pintu rumah dengan penuh kewaspadaan. Jangan biarkan seorang pun yang tidak kamu kenal masuk ke dalam rumah karena bisa saja mereka itu ternyata pencuri!”

Nasrudin memutuskan untuk duduk di samping pintu. Satu jam kemudian pamannya datang. “Mana ibumu?” tanya pamannya.

“Oh, Ibu sedang pergi ke pasar,” jawab Nasrudin.

“Keluargaku akan datang ke sini sore ini. Pergi dan katakan kepada Ibumu jangan pergi ke mana-mana sore ini!” kata pamannya.

Begitu pamannya pergi Nasrudin mulai berpikir, “Ibu menyuruh aku untuk mengawasi pintu. Sedangkan Paman menyuruhku pergi untuk mencari Ibu dan bilang kepada Ibu kalau keluarga Paman akan datang sore ini.”

Setelah bingung memikirkan jalan keluarnya, Nasrudin akhirnya membuat satu keputusan. Dia melepaskan pintu dari engselnya, menggotongnya sambil pergi mencari ibunya.

Label:

Pengantin Baru Masuk Syurga

Pada suatu hari laki-laki bernama Julaibiib menghadap Rasulallah Saw. Julaibiib adalah orang yang sangat melarat.
Dia bertanya: “Ya Rasulallah! Jika aku mati dalam keadaanku yang beriman ini apakah Allah SWT akan memasukkan aku ke dalam surga dan mengawainkan aku dengan bidadari?
“Ya tentu, insya Allah!”jawab Rasulallah Saw. “Mengapa sahabat-sahabat Tuan setiap yang aku lamar puterinya, semua menolak dan tidak menikahkan puterinya denganku?” tanya Julaibiib lagi.
“Pergilah kamu ke rumah keluarga fulan dan katakanlah kepadanya bahwa Rasulallah Saw memerintahkan kepada Anda agar menikahkan puterinya kepadaku,”jawab Rasulallah.
Keluarga itu pun akhirnya sepakat untuk menikahkan Julaibiib dengan putri mereka. Akan tetapi sebelum Julaibiib sempat masuk ke kamar pengantin, dia mendengar panggilan masuk berjihad. Maka dia pun lari dan bergabung dengan pasukan perang.
Ketika perang telah usai, Rasulallah Saw bertanya kepada para sahabat: “Siapa diantara kawan-kawan kalian yang sekarang tidak tampak dan mugkin menjadi syahid?” Para sahabat pun menyebutkan beberapa nama, tetapi tidak menyebut nama Julaibiib karena dia belum banyak dikenal.
Lalu Rasulallah Saw bersabda: “Apakah aku justru kehilangan Julaibiib, marilah kita bersama mencarinya!”
Akhirnya, Rasulallah Saw menemukan jasad Julaibiib tergeletak mati sebagai syahid di tengah tujuh mayat orang kafir yang baru dilawannya. Lalu Rasulallah Saw pun duduk di samping jasad Julaibiib dan mengangkat kepalanya ke pangkuan beliau sambil menangis. Tetapi sesaat kemudian beliau tersenyum dan memalingkan wajahnya. Maka para sahabat pun bertanya: “Sungguh aneh sekali keadaan Tuan, ya Rasulallah! Tuan menangis lalu tersenyum dan memalingkan wajah Tuan?”
Rasulallah bersabda: “Ya, aku menangis karena perpisahan dengan saudaraku ini, dan aku tersenyum ketika Allah memperlihatkan kepadaku tempatnya di surga. Aku palingkan wajahku ketika aku melihat istrinya, seorang bidadari dari suraga, aku turun ke bumi lalu masuk di antara kulit dan bajunya, kemudian mengakatnya ke surga di haribaan-Nya, di alam kelanggengan.”

Label:

Sahabat Aneh

 

Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi warna tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana,
 
Khairul Huda, Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi warna tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana, aku melangkah tegap menuju bus yang akan membawaku ke Doro, sebuah kota kecamatan kecil 20 km di sebelah selatan Pekalongan.
 
Bus Binatur yang kutumpangi berjalan lambat keluar terminal. Tidak hanya sekali dua bus berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Bahkan beberapa kali bus malah berjalan mundur, masuk ke jalan desa, menjemput penumpang yang hampir terlewat.
 
Sampai di perempatan Karangdadap langit gelap. Sesaat kemudian turun hujan. Kuedarkan pandang ke luar jendela. Lewat kaca bus yang buram, kulihat butiran mutiara itu berlomba turun menjejak ke bumi. Banyak rumah baru berdiri di sepanjang pundak jalan yang tidak seberapa luas.
 
Sejam kemudian, tepat pukul 12.00 siang, bus sampai di depan Pasar Doro. Di kota kecil ini tak ada terminal bus, yang ada hanyalah terminal colt angkutan pedesaan. Itu pun tak seluruh colt masuk ke terminal. Banyak di antaranya yang nge-tem di depan pasar sebelah barat, berbaur jadi satu dengan bus yang akan datang.
 
"Masih seperti dulu," gumamku membatin, ketika melihat sebuah colt jurusan Karanganyar berangkat. Ya, masih seperti dulu. Colt berangkat dengan penumpang yang berjejal sesak. Dari belakang yang terlihat jajaran orang bergelantungan rapat membentuk teralis menutupi bagian belakang mobil. Dan kalau belum mendapat penumpang yang rapat seperti itu, colt memang belum mau berangkat. Padahal itu sungguh membahayakan keselamatan penumpang.
 
Aku menarik napas untuk melonggarkan dadaku yang sesak. Dengan jilbabku yang bersih ini, aku pun akan berimpit seperti mereka. Berdesak dengan orang, barang belanjaan, dan ayam. Sudah tercium olehku keringat bercampur kubis busuk, tai ayam, dan aroma parfum yang tajam menusuk. Seperti itulah kalau perjalanan kita lekas sampai, karena jumlah angkutan di sini sangat terbatas.
 
Colt jurusan Lemahabang yang kutumpangi hampir penuh. Beruntung aku mendapat tempat duduk di depan, di ruang kemudi. Meski sesak juga, tapi tak separah seperti duduk di belakang. Lumayanlah. Tapi harap diingat, mendapat tempat duduk di ruang sopir, harus berani membayar lebih, karena lebih nyaman, maka ruang sopir ini banyak diperebutkan.
 
Calo sudah memintai ongkos para penumpang. Berarti colt sudah penuh dan siap berangkat. Aku bernapas lega.
 
Pak sopir masuk ruang kemudi, lalu menghidupkan mesin. Saat itu melintas sebuah bayangan yang sudah sangat kukenal, di depan colt. Aku masih mengingatnya dengan baik, itu adalah bayangan Silva, taman sekampung, teman masa kecil, teman sepermainanku dulu. Kalau ia mau pulang, kenapa tidak naik colt ini? Dorongan rasa kangen pada sahabat telah mengalahkan kepentinganku untuk cepat-cepat sampai di rumah.
 
"Sebentar, Pak Sopir," pintaku pada sopir yang sudah memasukan perseneling ke gigi satu. Lalu begitu saja aku turun dari mobil, mengejar Silva.
 
Terdengar teriakan sopir di belakang, "Cepat, Dik!"
 
Sekilas aku menoleh seraya melambaikan tangan menyuruhnya pergi. Sopir maklum, colt itu pun berangkat.
 
Aku berhasil mengejar Silva. Kujajari langkahnya.
 
"Mau kemana?" tanyaku.
 
Silva menoleh, tersenyum. Wajah dan bibirnya tampak pucat, tapi kakinya melangkah ke arah timur.
 
"Mestinya kamu bersama saya naik colt yang tadi. Kamu sudah tahu kan, selepas colt tadi belum tentu ada colt berikutnya yang bisa membawa kita pulang? Sudah siang begini tak ada lagi orang berpergian. Anak sekolah dan ibu-ibu yang belanja sudah pada pulang. Kita pertaruhkan pada nasib baik untuk bisa pulang hari ini."
 
Silva tak berkomentar. Kucoba menggandeng tangannya. Dingin. "Kamu sakit? Mau periksa? Okelah, aku menemanimu."
 
Melewati sebuah jembatan kecil, Silva belok ke kiri.
 
"Lho, kalau mau periksa ke tempat dr. Lestari, beloknya ke kanan, dong?!" protesku. Silva tak menanggapi protesku. Ia terus saja melangkah.
 
"Baiklah, kuikuti kamu," kataku, menyerah. "Seandainya nanti tidak mendapat colt pulang, toh ada kamu. Kita bisa pulang jalan kaki bersama.
 
Kami lewat di depan KUA. Ke utara sedikit, ada masjid di sisi barat jalan, menghadap ke timur. Silva membelokkan langkahnya ke sana.
 
"Oh, kamu mengajakku salat dulu? Baiklah. Sekarang memang sudah hampir jam satu," kataku, setelah melirik arloji di pergelangan tanganku.
 
Aku mendahului Silva melepas sepatu, terus ke kamar kecil. Setelah itu mengambil wudhu dan salat Zuhur lebih dahulu, karena Silva tak tampak bayangannya. Kupikir ia sedang berada di kamar kecil.
 
Kemana sih, dia? Diikuti kok malah menghilang? gerutuku sendirian, sambil mengenakan sepatu bersiap meninggalkan masjid.
 
Aku kembali ke depan pasar mencari angkutan. Suatu kebetulan, ada serombongan orang yang hendak berziarah ke makam Syeh Siti Jenar di Lemahabang. Mereka mendapatkan colt dan aku mengikuti saja. Tampaknya rombongan itu membayar lebih, sehingga tak usah menunggu penumpang berdesak. Alhamdulillah.
 
Mobil yang kami tumpangi bergerak ke arah barat setengah kilo, lalu berbelok ke selatan. Dan mulailah perjalanan yang penuh risiko. Karena colt mesti melewati jalan berbatu tidak rata, dengan medan yang terus menanjak. Badan colt bergerak seperti layaknya tubuh mentok. Merangkak tertatih, megal-megol, oleng ke kiri dan ke kanan, kepalanya mengangguk-angguk.
 
Setelah lepas empat puluh lima menit, colt yang sudah bergerak pelan, terasa semakin memperlambat lajunya. Kami saling bertatapan. Ada apa? Serentak kami arahkan pandangan ke depan. Ada sekerumunan orang memenuhi jalan di depan. Colt berhenti. Kami turun untuk mencari tahu.
 
Ternyata ada colt jatuh ke jurang! Sebagian penumpangnya tewas, sebagian yang lain luka-luka. Mereka sedang dievakuasi. Dan itu adalah colt yang hendak kutumpangi tadi, tapi tidak jadi!
 
Aku tertunduk lemas. Tak henti-hentinya kusebut kebesaran nama-Nya. Pandanganku yang kabur oleh airmata, menangkap tubuh-tubuh yang berlumpur dan berlumur darah terkulai. Pecahan kaca yang berserakan. Mobil yang ringsek. Wajah-wajah yang basah oleh airmata. Telingaku menangkap raungan tangis tak beraturan dari mereka yang masih bisa menagis. Allah Mahabesar.
 
"Dik, naik lagi. Kita teruskan perjalanan," kata sebuah suara.
 
Kuusap mataku dengan punggung tangan. Tanpa suara kuikuti laki-laki yang berkata tadi. Lalu kami masuk kembali ke colt untuk meneruskan perjalanan.
 
Begitu sampai di rumah, setengah berlari aku menuju ke rumah Silva. Dia sendiri yang membukakan pintu. Serentak melihat bayangannya, langsung kutubruk dan kupeluk ia. Tangisku pun tumpah di pundaknya.
 
Silva balas memeluk.
 
"Tenanglah...," bisiknya lembut dekat telingaku. Dipapahnya tubuhku menuju ke kamarnya. Setelah meminum air putih pemberian Silva, aku sedikit lebih tenang. Lalu kuceritakan semua kepadanya. Tentang pertemuanku dengannya di depan pasar. Tentang salatku di masjid. Juga tentang colt yang tak jadi kutumpangi dan ternyata mendapat kecelakaan...
 
"Kuminta jawablah pertanyaanku dengan jujur. Di mana saja kamu seharian ini?"
 
"Seharian ini aku hanya di rumah, tidak pergi ke mana-mana. Sungguh! Kalau tak percaya, tanya Ibu,"kata Silva, serius. "Sejak pagi sampai menjelang Zuhur, aku di sawah bersama Ibu, matun padi. Pulang dari sawah aku mampir ke pancuran, bersih-bersih sekalian ambil air wudhu. Setelah salat dan makan, istirahat sambil membaca-baca. Lalu kamu datang," jalas Silva runut.
 
"Aku percaya. Lantas, siapa gadis mirip kamu yang kutemukan di depan pasar?"
 
Kami saling berdiam diri, digayuti oleh pikiran masing-masing.
Dan aku percaya, Allah memang sengaja menyelamatkanku dengan cara-Nya sendiri. Terima kasih, ya Allah, atas pertolongan-Mu. Tak henti-hentinya kusebut nama-Nya.

Label:

Kisah Wali Allah Yang Sholat Diatas Air

 

Sebuah kapal yang sarat dengan muatan dan bersama 200 orang temasuk ahli perniagaan berlepas dari sebuah pelabuhan di Mesir. Apabila kapal itu berada di tengah lautan maka datanglah ribut petir dengan ombak yang kuat membuat kapal itu terumbang-ambing dan hampir tenggelam. Berbagai usaha dibuat untuk mengelakkan kapal itu dipukul ombak ribut, namun semua usaha mereka sia-sia sahaja. Kesemua orang yang berada di atas kapal itu sangat cemas dan menunggu apa yang akan terjadi pada kapal dan diri mereka.
Ketika semua orang berada dalam keadaan cemas, terdapat seorang lelaki yang sedikitpun tidak merasa cemas. Dia kelihatan tenang sambil berzikir kepada Allah S.W.T. Kemudian lelaki itu turun dari kapal yang sedang terunbang-ambing dan berjalanlah dia di atas air dan mengerjakan solat di atas air.
Beberapa orang peniaga yang bersama-sama dia dalam kapal itu melihat lelaki yang berjalan di atas air dan dia berkata, "Wahai wali Allah, tolonglah kami. Janganlah tinggalkan kami!" Lelaki itu tidak memandang ke arah orang yang memanggilnya. Para peniaga itu memanggil lagi, "Wahai wali Allah, tolonglah kami. Jangan tinggalkan kami!"
Kemudian lelaki itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya dengan berkata, "Apa hal?" Seolah-olah lelaki itu tidak mengetahui apa-apa. Peniaga itu berkata, "Wahai wali Allah, tidakkah kamu hendak mengambil berat tentang kapal yang hampir tenggelam ini?"
Wali itu berkata, "Dekatkan dirimu kepada Allah."
Para penumpang itu berkata, "Apa yang mesti kami buat?"
Wali Allah itu berkata, "Tinggalkan semua hartamu, jiwamu akan selamat."
Kesemua mereka sanggup meninggalkan harta mereka. Asalkan jiwa mereka selamat. Kemudian mereka berkata, "Wahai wali Allah, kami akan membuang semua harta kami asalkan jiwa kami semua selamat."
Wali Allah itu berkata lagi, "Turunlah kamu semua ke atas air dengan membaca Bismillah."
Dengan membaca Bismillah, maka turunlah seorang demi seorang ke atas air dan berjalan meng hampiri wali Allah yang sedang duduk di atas air sambil berzikir. Tidak berapa lama kemudian, kapal yang mengandungi muatan beratus ribu ringgit itu pun tenggelam ke dasar laut.
Habislah kesemua barang-barang perniagaan yang mahal-mahal terbenam ke laut. Para penumpang tidak tahu apa yang hendak dibuat, mereka berdiri di atas air sambil melihat kapal yang tenggelam itu.
Salah seorang daripada peniaga itu berkata lagi, "Siapakah kamu wahai wali Allah?"
Wali Allah itu berkata, "Saya adalah Awais Al-Qarni."
Peniaga itu berkata lagi, "Wahai wali Allah, sesungguhnya di dalam kapal yang tenggelam itu terdapat harta fakir-miskin Madinah yang dihantar oleh seorang jutawan Mesir."
WaliAllah berkata, "Sekiranya Allah kembalikan semua harta kamu, adakah kamu betul-betul akan membahagikannya kepada orang-orang miskin di Madinah?"
Peniaga itu berkata, "Betul, saya tidak akan menipu, ya wali Allah."
Setelah wali itu mendengar pengakuan dari peniaga itu, maka dia pun mengerjakan solat dua rakaat di atas air, kemudian dia memohon kepada Allah S.W.T agar kapal itu ditimbulkan semula bersama-sama hartanya.
Tidak berapa lama kemudian, kapal itu timbul sedikit demi sedikit sehingga terapung di atas air. Kesemua barang perniagaan dan lain-lain tetap seperti asal. Tiada yang kurang.
Setelah itu dinaikkan kesemua penumpang ke atas kapal itu dan meneruskan pelayaran ke tempat yang dituju. Apabila sampai di Madinah, peniaga yang berjanji dengan wali Allah itu terus menunaikan janjinya dengan membahagi-bahagikan harta kepada semua fakir miskin di Madinah sehingga tiada seorang pun yang tertinggal. Wallahu a�alam.

Label:

Sepotong Roti Penebus dosa



Abu Burdah bin Musa Al-Asy�ari meriwayatkan, bahwa ketika menjelang wafatnya Abu Musa pernah berkata kepada puteranya: "Wahai anakku, ingatlah kamu akan cerita tentang seseorang yang mempunyai sepotong roti."
 
Dahulu kala di sebuah tempat ibadah ada seorang lelaki yang sangat tekun beribadah kepada Allah. Ibadah yang dilakukannya itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun. Tempat ibadahnya tidak pernah ditinggalkannya, kecuali pada hari-hari yang telah dia tentukan. Akan tetapi pada suatu hari, dia digoda oleh seorang wanita sehingga diapun tergoda dalam bujuk rayunya dan bergelimang di dalam dosa selama tujuh hari sebagaimana perkara yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri. Setelah ia sadar, maka ia lalu bertaubat, sedangkan tempat ibadahnya itu ditinggalkannya, kemudian ia melangkahkan kakinya pergi mengembara sambil disertai dengan mengerjakan solat dan bersujud.
 
Akhirnya dalam pengembaraannya itu ia sampai ke sebuah pondok yang di dalamnya sudah terdapat dua belas orang fakir miskin, sedangkan lelaki itu juga bermaksud untuk menumpang bermalam di sana, karena sudah sangat letih dari sebuah perjalanan yang sangat jauh, sehingga akhirnya dia tertidur bersama dengan lelaki fakir miskin dalam pondok itu. Rupanya di samping kedai tersebut hidup seorang pendita yang ada setiap malamnya selalu mengirimkan beberapa buku roti kepada fakir miskin yang menginap di pondok itu dengan masing-masingnya mendapat sebuku roti.
 
Pada waktu yang lain, datang pula orang lain yang membagi-bagikan roti kepada setiap fakir miskin yang berada di pondok tersebut, begitu juga dengan lelaki yang sedang bertaubat kepada Allah itu juga mendapat bahagian, karena disangka sebagai orang miskin. Rupanya salah seorang di antara orang miskin itu ada yang tidak mendapat bahagian dari orang yang membahagikan roti tersebut, sehingga kepada orang yang membahagikan roti itu ia berkata: "Mengapa kamu tidak memberikan roti itu kepadaku." Orang yang membagikan roti itu menjawab: "Kamu dapat melihat sendiri, roti yang aku bagikan semuanya telah habis, dan aku tidak membagikan kepada mereka lebih dari satu buku roti." Mendengar ungkapan dari orang yang membagikan roti tersebut, maka lelaki yang sedang bertaubat itu lalu mengambil roti yang telah diberikan kepadanya dan memberikannya kepada orang yang tidak mendapat bahagian tadi. Sedangkan keesokan harinya, orang yang bertaubat itu meninggal dunia.
 
Di hadapan Allah, maka ditimbanglah amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang yang bertaubat itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun dengan dosa yang dilakukannya selama tujuh malam. Ternyata hasil dari timbangan tersebut, amal ibadat yang dilakukan selama tujuh puluh tahun itu dikalahkan oleh kemaksiatan yang dilakukannya selama tujuh malam. Akan tetapi ketika dosa yang dilakukannya selama tujuh malam itu ditimbang dengan sebuku roti yang pernah diberikannya kepada fakir miskin yang sangat memerlukannya, ternyata amal sebuku roti tersebut dapat mengalahkan perbuatan dosanya selama tujuh malam itu. Kepada anaknya Abu Musa berkata: "Wahai anakku, ingatlah olehmu akan orang yang memiliki sebuku roti itu!"

Label:

Kisah Tsabit Bin Ibrahim


Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu. akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya. Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya.
Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya". Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam". Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?" Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan ?" Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?" Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !"
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul �alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta�ala".
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam ,"Assalamu�alaikum..." Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya . Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya. Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini.
"Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ? Setelah Tsabit duduk di samping istrinya , dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta . Mengapa ?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah".
Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?"
Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?"
Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta�ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta�ala".
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah , dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap". Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu�man bin Tsabit

Label:

17/10/10

Kisah Wortel, Telur, dan Kopi


   Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api.
Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api.
Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.
Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”"Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.
Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”
Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.
“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?” Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”
“Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?.”
“Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”
“Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”

Label:

Kisah Dua Tukang Sol


Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.
Perut mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.
Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.
“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.
“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.
“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.
“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”
“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.
“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.
“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.
“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.
Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.
“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”
Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.
Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,
“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”
Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,
“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”
“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.
“Abang yakin?”
“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.
“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.
“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.
Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.
“Apa kabar mang Udin?”
“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.
Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,
“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”
“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.
“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.
Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,
“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”
“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.
Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.
“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.
Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.
“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.
“Tidak.”
“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”
Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.
“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”
Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik.

Label:

Jendela Kehidupan

Kisah inspiratif kali ini mengisahkan tentang dua orang pria paruh baya yang menjadi pasien di sebuah rumah sakit.

Mereka berada dalam satu kamar yang sama. Roy dan David, kedua pria tersebut telah berada di rumah sakit dalam waktu yang cukup lama.
Roy mendapatkan ranjang yang letaknya dekat dengan pintu kamar mereka, sementara ranjang untuk David berada di samping jendela.
Sekali sewaktu dalam seharinya, demi mengusir kejenuhan, David mencoba bangun dari ranjangnya dan memandang keluar jendela.
Diceritakannya kepada Roy, bagaimana ia dapat melihat angsa-angsa yang berenang di danau kecil di dekat rumah sakit, atau burung-burung yang berkejaran di langit biru. Bunga berbagai warna yang bermekaran di sisi gedung. Dan sekali David bahkan menceritakan tentang parade yang dilihatnya di jalanan.
Roy yang meskipun tak dapat melihat semua itu, namun ia dapat membayangkan persis keadaannya seperti yang dituturkan oleh David.
Hari-hari berlalu, David terus menceritakan berbagai pemandangan yang dilihatnya di luar jendela.
Perlahan timbul pun rasa iri dalam diri Roy, ia merasa ini semua tak adil. Mengapa hanya David yang dapat melihat semua pemandangan itu? Roy berpikir, ia akan rela melakukan apa saja demi dapat melihat pemandangan di luar jendela yang telah lama tak dapat ia saksikan tersebut.
Dan pada suatu malam Roy yang tak dapat memejamkan matanya terus memandang ke arah jendela.
Lalu ia pun kemudian mendengar suara bergumam pelan, dan Roy mengalihkan perhatiannya ke ranjang teman sekamarnya. Dilihatnya tubuh David berkejang-kejang sembari tangannya memegang jantungnya yang terasa sakit. Roy bisa saja memencet tombol di sisi ranjangnya untuk memanggil perawat demi memberikan pertolongan pada David, namun ia tak melakukannya.
Pagi harinya, perawat menemukan tubuh David yang terbujur kaku di ranjangnya. Dokter pun menyatakan dia telah meninggal dunia.
Mendengar berita itu, Roy lalu bertanya kepada perawat apakah ia diperbolehkan untuk pindah ke ranjang di dekat jendela tersebut. Perawat pun menyetujuinya.
Sesaat setelah perawat membantu memindahkannya ke ranjang tempat David berbaring sebelumnya, Roy pun segera mengalihkan pandangannya mencoba melihat pemandangan di luar jendela yang telah lama sekali ia impikan dan hanya bisa ia dengarkan dari cerita-cerita David.
Namun Roy hanya bisa tertegun ketika mendapati dirinya tengah memandangi tembok besar, satu-satunya pemandangan yang bisa ia lihat melalui jendela tersebut.

Label:

Kisah Orang Tua Bijak

  Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil.
Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya
karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja
menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum
pernah dilihat orang, begitu gagah, anggun dan kuat. 

Orang-orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda
jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak :
"Kuda ini bukan kuda bagi saya", katanya : "Ia adalah
seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual
seseorang. Ia adalah sahabat bukan milik. Bagaimana
kita dapat menjual seorang sahabat ?" Orang itu miskin
dan godaan besar. Tetapi ia tidak menjual kuda itu. 

Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di
kandangnya. Seluruh desa datang menemuinya. "Orang tua
bodoh", mereka mengejek dia : "Sudah kami katakan
bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Kami peringatkan
bahwa kamu akan di rampok. Anda begitu miskin... Mana
mungkin anda dapat melindungi binatang yang begitu
berharga ? Sebaiknya anda  menjualnya. Anda boleh
minta harga apa saja. Harga setinggi apapun akan
dibayar juga. Sekarang kuda itu hilang dan anda
dikutuk oleh kemalangan". 

Orang tua itu menjawab : "Jangan bicara terlalu cepat.
Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di
kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya adalah
penilaian. Apakah saya di kutuk atau tidak, bagaimana
Anda dapat ketahui itu ? Bagaimana Anda dapat
menghakimi ?". Orang-orang desa itu protes : "Jangan
menggambarkan kami sebagai orang bodoh! Mungkin kami
bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak di
perlukan. Fakta sederhana bahwa kudamu hilang adalah
kutukan". 

Orang tua itu berbicara lagi : "Yang saya tahu
hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi.
Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan atau
berkat, saya tidak dapat katakan.Yang dapat kita lihat
hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan
terjadi nanti ?" 
Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu
gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol;
kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari
uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang
potong kayu miskin, orang tua yang memotong kayu bakar
dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang
ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak
lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah
membuktikan bahwa ia betul-betul tolol. 
Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak di
curi, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali,
ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya.
Sekali lagi penduduk desa berkumpul sekeliling tukang
potong kayu itu dan mengatakan : "Orang tua, kamu
benar dan kami salah. Yang kami anggap kutukan
sebenarnya berkat. Maafkan kami". 

Jawab orang itu : "Sekali lagi kalian bertindak
gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik.
Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia,
tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian tahu bahwa ini
adalah berkat ? Anda hanya melihat sepotong saja.
Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita,
bagaimana anda dapat menilai ? Kalian hanya membaca
satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai
seluruh buku ? Kalian hanya membaca satu kata dari
sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh
ungkapan ? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai
seluruh hidup berdasar! kan satu halaman atau satu
kata.Yang anda tahu hanyalah sepotong! Jangan katakan
itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah
puas dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu
karena apa yang saya tidak tahu".

"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu
kepada yang lain. Jadi mereka tidak banyak
berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia
salah. Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda
liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit,
binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian
dijual untuk banyak uang. 

Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak
muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah
beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan
kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul
sekitar orang tua itu dan menilai. "Kamu benar", kata
mereka : "Kamu sudah buktikan bahwa kamu benar.
Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan.
Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang
dalam usia tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk
membantumu... Sekarang kamu lebih miskin lagi. Orang
tua itu berbicara lagi : "Ya, kalian kesetanan dengan
pikiran untuk menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan.
Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu
itu berkat atau kutukan ? Tidak ada yang tahu. Kita
hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang
sepotong-sepotong".Maka terjadilah dua minggu kemudian
negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua
anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya
anak si orang tua tidak diminta karena ia 
terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua
itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak
mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali
kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan
perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka tidak akan
melihat anak-anak mereka kembali. "Kamu benar, orang
tua", mereka menangis : "Tuhan tahu, kamu benar. Ini
buktinya. Kecelakaan anakmu 
merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak
ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk
selama-lamanya".

Orang tua itu berbicara lagi : "Tidak mungkin untuk
berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik
kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini :
anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya
tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau
kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk
mengetahui. Hanya Allah yang tahu". 

Moral cerita :
Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari
seluruh kejadian. Kecelakaan-kecelakaan dan kengerian
hidup ini hanya merupakan satu halaman dari buku
besar. Kita jangan terlalu cepat menarik kesimpulan.
Kita harus simpan dulu penilaian kita dari badai-badai
kehidupan sampai kita ketahui seluruh cerita.


ORANG KAYA DAN ORANG MISKIN BERTEMU DI SURGA

Alkisah, di suatu negeri pernah hidup seorang kaya raya, yang rajin beribadah dan beramal. Meski kaya raya, ia tak sombong atau membanggakan kekayaannya. Kekayaannya digunakan untuk membangun rumah ibadat, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga-tetangganya yang miskin dan kekurangan, serta berbagai amal sosial lainnya. Di musim paceklik, ia membagikan bahan pangan dari kebunnya yang berhektar-hektar kepada banyak orang yang kesusahan. Salah satu yang sering dibantu adalah seorang tetangganya yang miskin.
Dikisahkan, sesudah meninggal, berkat banyaknya amal, si orang kaya ini pun masuk surga. Secara tak terduga, di surga yang sama, ia bertemu dengan mantan tetangganya yang miskin dulu. Ia pun menyapa.
“Apa kabar, sobat! Sungguh tak terduga, bisa bertemu kamu di sini,” ujar si kaya.
“Mengapa tidak? Bukankah Tuhan memberikan surga pada siapa saja yang dikehendaki-Nya, tanpa memandang kaya dan miskin?” jawab si miskin.
“Jangan salah paham, sobat. Tentu saja aku paham, Tuhan Maha Pengasih kepada semua umat-Nya tanpa memandang kaya-miskin. Cuma aku ingin tahu, amalan apakah yang telah kau lakukan sehingga mendapat karunia surga ini?”
“Oh, sederhana saja. Aku mendapat pahala atas amalan membangun rumah ibadat, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga yang miskin dan kekurangan, serta berbagai amal sosial lainnya….”
“Bagaimana itu mungkin?” ujar si kaya, heran. “Bukankah waktu di dunia dulu kamu sangat miskin. Bahkan seingatku, untuk nafkah hidup sehari-hari saja kamu harus berutang kanan-kiri?”
“Ucapanmu memang benar,” jawab si miskin. “Cuma waktu di dunia dulu, aku sering berdoa: Oh, Tuhan! Seandainya aku diberi kekayaan materi seperti tetanggaku yang kaya itu, aku berniat membangun rumah ibadat, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga yang miskin dan banyak amal lainnya. Tapi apapun yang kau berikan untukku, aku akan ikhlas dan sabar menerimanya.”
“Rupanya, meski selama hidup di dunia aku tak pernah berhasil mewujudkannya, ternyata semua niat baikku yang tulus itu dicatat oleh Tuhan. Dan aku diberi pahala, seolah-olah aku telah melakukannya. Berkat semua niat baik itulah, aku diberi ganjaran surga ini dan bisa bertemu kamu di sini,” lanjut si miskin.
Maka perbanyaklah niat baik dalam hati Anda. Bahkan jika Anda tidak punya kekuatan atau kekuasaan untuk mewujudkan niat baik itu dalam kehidupan sekarang, tidak ada niat baik yang tersia-sia di mata Tuhan.

Label: