20/08/10

Berikut secuil kisah Rasulullah SAW, agr kita lbih mngenal beliau & lbih mencintainya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa setelah dekat waktu wafatnya,
Rasulullah memerintahkan Bilal supaya adzan. Memanggil manusia untuk
sholat berjama’ah. Maka berkumpulah kaum Muhajirin dan Anshor ke
Masjid Rasulullah saw. Setelah selesai sholat dua raka’at yang ringan
kemudian beliau naik ke atas mimbar lalu mengucapkan puji dan sanjung
kepada Allah swt, dan kemudian beliau membawakan khutbahnya yang
sangat berkesan, membuat hati terharu dan menangis mencucurkan air
mata. Beliau berkata antara lain :

” Sesungguhnya saya ini adalah Nabimu, pemberi nasihat dan da’i yang
menyeru manusia ke jalan Allah dengan izin-Nya. Aku ini bagimu
bagaikan saudara yang penyayang dan bapak yang pengasih. Siapa yang
merasa teraniaya olehku di antara kamu semua, hendaklah dia bangkit
berdiri sekarang juga untuk melakukan qishas kepadaku sebelum ia
melakukannya di hari Kiamat nanti”

Sekali dua kali beliau mengulangi kata-katanya itu, dan pada ketiga
kalinya barulah berdiri seorang laki-laki bernama ‘Ukasyah Ibnu
Muhsin’. Ia berdiri di hadapan Nabi s.a.w sambil berkata :

“Ibuku dan ayahku menjadi tebusanmu ya Rasullah. Kalau tidaklah karena
engkau telah berkali-kali menuntut kami supaya berbuat sesuatu atas
dirimu, tidaklah aku akan berani tampil untuk memperkenankannya sesuai
dengan permintaanmu. Dulu, aku pernah bersamamu di medan perang Badar
sehingga untaku berdampingan sekali dengan untamu, maka aku pun turun
dari atas untaku dan aku menghampiri engkau, lantas aku pun mencium
paha engkau. Kemudian engkau mengangkat cambuk memukul untamu supaya
berjalan cepat, tetapi engkau sebenarnya telah memukul
lambung-sampingku; saya tidak tahu apakah itu dengan engkau sengaja
atau tidak ya…Rasul Allah, ataukah barangkali maksudmu dengan itu
hendak melecut untamu sendiri ?”

Kemudian Nabi menyuruh Bilal supaya pergi ke rumah Fatimah, ” Supaya
Fatimah memberikan kepadaku cambukku ” kata beliau

Bilal segera ke luar Masjid dengan tangannya diletakkannya di atas
kepalanya. Ia heran dan tak habis pikir, “Inilah Rasulullah memberikan
kesempatan mengambil qishas terhadap dirinya!”
Diketoknya pintu rumah Fatimah yang menyahut dari dalam : “Siapakah
diluar?”, “Saya datang kepadamu untuk mengambil cambuk Rasullah” jawab
Bilal.

” Duhai bilal, apakah yang akan dilakukan ayahku dengan cambuk ini?”
tabta Fatimah kepada Bilal.

“Ya Fatimah ! Ayahmu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
mengambil qishas terhadap dirinya ” Bilal menegaskan.

“Siapakah pula gerangan orang itu yang sampai hati mengqishas
Rasulullah ?” tukas Fatimah keheranan. Biarlah hamba saja yang menjadi
ganti untuk dicambuk.

Bilal pun mengambil cambuk dan membawanya masuk Masjid, lalu
diberikannya kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun menyerahkannya ke
tangan ‘Ukasyah

Suasana mulai tegang… Semua sahabat bergerak…. Semua berdiri….
Jangankan dicambuk, dicolek saja, ia akan berhadapan dengan kami.
Mungkin begitu mereka bicara dalam hati. Semua mata melotot. Memandang
Ukasyah dan sebilah cambuk.

Saat itulah, Abu Bakar dan Umar r.a. bicara, “Hai ‘Ukasyah ! kami
sekarang berada di hadapanmu, pukul qishas-lah kami berdua, dan jangan
sekali-kali engaku pukul Rasulullah s.a.w !”

Mungkin saat itu Umar meraba pedangnya. Seandainya saja, diizinkan
akan aku penggal kepala orang yang menyakiti Rasulullah.

Rasulullah menahan dua sahabatnya. Berkata sang pemimpin yang dicintai
ini : “Duhai sahabatku, Duduklah kalian berdua, Allah telah mengetahui
kedudukan kamu berdua!”

Kemudian berdiri pula Ali bin Abi Tholib sambil berkata. Kali ini
lebih garang dari sahabat Abu Bakar : ” Hai Ukasyah! Aku ini sekarang
masih hidup di hadapan Nabi s.a.w. Aku tidak sampai hati melihat kalau
engkau akan mengambil kesempatan qishas memukul Rasulullah. Inilah
punggungku, maka qishaslah aku dengan tangnmu dan deralah aky dengan
tangn engkau sendiri!”
Ali tampil ke muka. Memberikan punggungnya dan jiwa serta cintanya
buat orang yang dicintainya. Subhanallah… ia tak rela sang Rasul
disakiti. Ia merelakan berkorban nyawa untuk sang pemimpin.

Nabi pun menahan. ” Allah swt telah tahu kedudukanmu dan niatmu, wahai Ali !”

Ali surut, bergantianlah kemudian tampil dua kakak beradik, Hasan dan
Husein. ” Hai Ukasyah ! Bukankah engkau telah mengetahui, bahwa kami
berdua ini adalah cucu kandung Rasulullah, dan qishaslah kami dan itu
berarti sama juga dengan mengqishas Rasulullah sendiri !”

Tetapi Rasulullah menegur pula kedua cucunya itu dengan berkata
“Duduklah kalian berdua, duhai penyejuk mataku!”

Dan akhirnya Nabi berkata : “Hai ‘Ukasyah ! pukullah aku jika engkau
berhasrat mengambil qishas!”

“Ya Rasul Allah ! sewaktu engkau memukul aku dulu, kebetulan aku
sedang tidak lekat kain di badanku” Kata Ukasyah. kembali suasana
semakin panas dan tegang. Semua orang berpikir, apa maunya si Ukasyah
ini. Sudah berniat mencambuk Rasul, ia malah meminta Rasul membuka
baju. “Kurang ajar sekali si Ukasyah ini. Apa maunya ini orang…”

Tanpa bicara….
Tanpa kata…
Rasulullah membuka bajunya.
Semua yang hadir menahan napas…
Banyak yang berteriak sambil menangis…
Tak terkecuali…. Termasuk Ukasyah…
Ada yang tertahan di dadanya. Ia segera maju melangkah, melepas cambuknya dan…

Kejadian selanjutnya tatkala ‘Ukasyah melihat putih tubuh Rasulullah
dan tanda kenabian di punggungnya, ia segera mendekap tubuh Nabi
sepuas-puasnya sambil berkata : “Tebusanmu adalah Rohku ya Rasulallah,
siapakah yang tega sampai hatinya untuk mengambil kesempatan
mengqishas engkau ya Rasul Allah ? Saya sengaja berbuat demikian
hanyalah karena berharap agar supaya tubuhku dapat menyentuh tubuh
engkau yang mulia, dan agar supaya Allah swt dengan kehormatan engkau
dapat menjagaku dari sentuhan api neraka”

Akhirnya berkatalah Nabi saw “Ketahuilah wahai para sahabat ! barang
siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka melihatlah kepada
pribadi laki-laki ini!”

Lantas bangkit berdirilah kaum Muslimin beramai-ramai mencium ‘Ukasyah
di antara kedua matanya. Rasa curiga berubah cinta. Buruk sangka
berubah bangga. Berkatalah mereka : “Berbahagialah engkau yang telah
mencapai derajat yang tinggi dan menjadi teman Rasulullah s.a.w di
surga kelak!”

Ya Allah! Demi kemuliaan dan kebesaran Engkau mudahkan jugalah bagi
kami mendapatkan syafa’atnya Rasulullah s.a.w di kampung akhirat yang
abadi ! Amien ! Mau’izhatul Hasanah

Allah SWT berfirman:
“Yaa siin…Demi Al Quran yang penuh Hikmah…
Sesungguhnya Engkau (Muhammad) sungguh sebagian dari para Rasul-rasul…
Yang berada di JALAN yang LURUS” (QS. Yaasiin : 3-4)

” Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi,
Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kepadanya dan salam taslim
kepadanya.” (QS Al Ahzab)

“Allahumma shalli ‘alaa Nabiyinaa Muhammad wa’alaa aalihi wa shahbihi wa sallim”

Label:

15/08/10

Bercinta Karena Allah

KETAHUILAH bahwa bercinta karena Allah adalah bagian dari konsekuensi dan kesempurnaan cinta kepada-Nya, dan bukan yang merusak cinta tersebut. karena konsekuensi dari mencintai Kekasih adalah mencintai apa yang dicintainya dan menyenangi segala hal yang menopang pencapaian keridhaan dan kedekatan dengan-Nya. Di antaranya adalah mencintai para Nabi, orang shalih, dan berbagai amal shalih. Mencintai hal-hal di atas adalah bagian dari kesempurnaan cinta kepada Allah.

Seorang mukmin tak mungkin tidak mencintai apa yang bisa membantunya mencapai ridha Allah dan membawanya kepada cinta dan kedekatan dengan-Nya.

Jika Anda mencintai seseorang karena Allah sebenarnya Anda mencintai Allah. Tiapkali Anda membayangkannya dalam hati Anda, maka sesungguhnya Anda membayangkan apa yang dicintai Allah, lalu Anda mencintainya. Sebagaimana jika Anda mengingat Nabi saw., para Nabi dan Rasul sebelumnya, dan para sahabatnya yang shalih, lalu Anda menggambarkan mereka di hati anda, maka sebenarnya hal itu membawa hati Anda kepada cinta Allah yang dikaruniakan pada mereka manakala Anda mencintai mereka karena Allah.

Jadi, sesuatu yang dicintai karena Allah akan membawa kepada cinta Allah. Bila seorang pencinta Allah mencintai seseorang karena Allah, maka sesungguhnya Allah adalah yang dicintainya. Ia ingin membawa kekasihnya kepada Allah. Dan keduanya, baik pencinta maupun yang dicintai karena Allah, masing-masing menghela menuju Allah.

Cinta karena Allah ini tidak terwujud kacualijika telah bersih dari kepentingan. Orang yang mencintai seseorang karena pemebrian yang diterimanya, sebenarnya ia hanya mencintai pemberian tersebut. dan bila ada yang mengatakan bahwa ia mencintai orang yang memberinya itu karena Allah maka dustalah ia.

Demikian pula orang yang mencintai seseorang karena dia menolongnya, maka sesungguhnya ia hanya mencintai pertolongan, dan bukan orang yang menolongnya. Semua itu termasuk tindakan mengikuti apa yang diinginkan oleh nafsu. Karena hakikatnya ia tidak mencintai, melainkan karena ingin memperoleh manfaat atau menolak bahaya. Maka ia hanya mencintai perolehan manfaat dan penolakan bahaya.

Ia hanya mencintai hal tersebut karena keberadaannya sebagai sarana untuk sampai kepada apa yang dicintainya. Ini bukan cinta kepada Allah, juga bukan cinta kepada apa yang dicintainya itu, melainkan cinta pada kepentingan, yang bisa lenyap bersamaan dengan lenyapnya kepetingan. Sesungguhnya orang yang menyayangimu karena karena suatu hal, maka ia akan berpaling darimu jika hal tersebut lenyap.

Kecintaan seperti ini kerap terjadi di antara seseorang dengan sesamanya. Dan cinta ini tidak diberi pahala di akhirat dan tidak bermanfaat bagi mereka, bahkan bisa jadi hal tersebut membawa kepada kemunafikan sehingga mereka menjadi teman-teman dekat yang saling bermusuhan di akhirat. Namun hal itu tidak terjadi pada orang-orang yang bertakwa.

Allah berfirman: “Teman-teman akrab hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa” (az-Zukhruf [43]: 67).

Tapi jika cinta itu bersemi karena orang yang dicintai tersebut seorang muslim yang shalih, dan mendorong orang-orang yang saling bercinta itu untuk bangkita menuju Allah, saling berwasiat dengan kebanaran dan kesabaran, saling bekerja sama melakukan kebaikan, dzikir, dakwah dan menuntut ilmu, maka hal itu adalah cinta karena Allah. Nabi Musa berkata—sebagaimana yang direkam al-Qur’an:

“Wahai Rabbku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka paham ucapanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku. Kokohkan dengannya kekuatanku, dan jadikanlah ia sekutu dalam urusanku” (Thaha [20]: 25-35).

Kemudian Nabi Musa menjelaskan tujuan kerja samanya dengan saudaranya tersebut—sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat itu:

“Agar kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami”